Minggu, 09 Januari 2011

Perhatian Pemerintah dalam mengatasi permasalahan serikat kerja pada saat ini

Pemerintah sudah seharusnya bisa mengatasi tentang  ketenaga kerjaan yang ada di negaranya sendiri khususnya Indonesia. Mulai dari Upah kerja Karyawan,  Jam kerja Kryawan, Keselamatan Kerja Karyawan, dan masalah ketenagakerjaan lainnya.
Dari peraturan pemerintah yang dikeluarkan  tentang  Keutusan Mentri Tenaga Kerja  Dan Transmigrasi Rpepublik Indonesia Nomer Kep. 102/MEN/VI/2004 Tentang Waktu Kerja Lembur  Dan Upah Kerja Lembur. Yang menjelaskan bahwa :
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK
INDONESIA TENTANG WAKTU KERJA LEMBUR DAN UPAH KERJA
LEMBUR.
Pasal 1
Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan :
1. Waktu kerja lembur adalah waktu kerja yang melebihi 7 (tujuh) jam sehari dan 40
(empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu
atau 8 (delapan) jam sehari, dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima)
harikerja dalam 1 (satu) minggu atau waktu kerja pada hari istirahat mingguan dan
atau pada hari libur resmi yang ditetapkan Pemerintah.
Pasal 3
(1) Waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam 1 (satu)
hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu.
(2) Ketentuan waktu kerja lembur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak termasuk
kerja lembur yang dilakukan pada waktu istirahat mingguan atau hari libur resmi.
Pasal 7
(1) Perusahaan yang mempekerjakan pekerja/buruh selama waktu kerja lembur
berkewajiban :
a. membayar upah kerja lembur;
b. memberi kesempatan untuk istirahat secukupnya;
c. memberikan makanan dan minuman sekurang-kurangnya 1.400 kalori apabila kerja
lembur dilakukan selama 3 (tiga) jam atau lebih.
(2) Pemberian makan dan minum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c tidak boleh
diganti dengan uang.
Pasal 8
(1) Perhitungan upah lembur didasarkan pada upah bulanan.
(2) Cara menghitung upah sejam adalah 1/173 kali upah sebulan.
Pasal 9
(1) Dalam hal upah pekerja/buruh dibayar secara harian, maka penghitungan besarnya
upah sebulan adalah upah sehari dikalikan 25 (dua puluh lima) bagi pekerja/buruh yang
bekerja 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau dikalikan 21 (dua puluh satu)
bagi pekerja/buruh yang bekerja 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
(2) Dalam hal upah pekerja/buruh dibayar berdasarkan satuan hasil, maka upah sebulan
adalah upah rata-rata 12 (dua belas) bulan terakhir.
(3) Dalam hal pekerja/buruh bekerja kurang dari 12 (dua belas) bulan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2), maka upah sebulan dihitung berdasarkan upah rata-rata
selama bekerja dengan ketentuan tidak boleh lebih rendah dari upah dari upah
minimum setempat.
Pasal 10
(1) Dalam hal upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap maka dasar perhitungan
upah lembur adalah 100 % (seratus perseratus) dari upah.
(2) Dalam hal upah terdiri dari upah pokok, tunjangan tetap dan tunjangan tidak tetap,
apabila upah pokok tambah tunjangan tetap lebih kecil dari 75 % (tujuh puluh lima
perseratus) keseluruhan upah, maka dasar perhitungan upah lembur 75 % (tujuh puluh
lima perseratus) dari keseluruhan upah.
Pasal 16
Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 25 Juni 2004

            Dalam hal ini memang pemerintah sudah melaksanakan tugasnya sebagai pengontrol dari sistem ketenagakerjaan yang ada sekarang ini, namun mengapa banyak para buruh yang masih mendemo tentang upah yang diterimanya tidak cukup untuk kebutuhan hidupnya.
            Banyak perusahaan yang merekrut tenaga kerjanya, dan membayar upah yeng tidak sesuai dengan kerjaanya.  Di DKI Jakarta upah non Sektor pada tahun 2011 ini sebesar  Rp. 1.290.000 sedangkan pada tahun 2010 Rp.1.118.009. Apakah upah sebesar itu seimbang dengan kebutuhan yang sekarang ini harganya semakain menggila.
Problem klasik dari persoalan buruh di Indonesia adalah upah. Upah yang didapat buruh dari hasil kerjanya tidak sebanding dengan beban biaya hidup yang ditanggungnya sehari-hari. Dengan kata lain buruh di Indonesia masih menghadapi masalah rendahnya upah yang mereka terima. Upah buruh yang merupakan hasil kerjanya tidak akan bisa menciptakan kehidupan yang sejahtera bagi buruh. Upah yang diperoleh berjalan di belakang beban hidup yang berjalan secara real.Selain besaran upah yang belum mamadai, maslah lain dalam praktek upah buruh di Indonesia adalah masih seringnya terjadi penyimpangan dalam realisasi upah di tingkat lapangan. Meskipun secara formal besaran upah minimum telah disepakati dalam forum tripartite (buruh, pengusaha, dan pemerintah), di tingkat realisasi lapangan masih terjadi banyak penyimpangan. Paling hanya sekitar 30% perusahaan yang membyar sesuai ketentuan yang berlaku. Selanjutnya upah yang diterima para buruh hanya sesuai mekanisme pasar, dimana karena banyaknya pengangguran, buruh terpaksa menerima upah apa adanya, meskipun jauh dibawah ketentuan upah minimum yang telah ditetapkan. Sistem upah minimum harus diubah berdasarkan klasifikasi besaran unit usaha dan kemampuan masing-masing perusahaan. Perusahaan harus dikelompokan atas besarnya unit usaha mereka, dengan pembukuan yang tebuka dan jujur. Dalam hal penetapan ini pemerintah tidak boleh lepas tangan, melainkan harus ikut terlibat dalam menetapkan upah minimum di tiap Kabupaten atau Kotamadya (upah jarring pengaman). Sehingga perusahaan yang beruntung diharuskan membayar buruh diatas upah minimum jaring pengaman, apakah lebih tinggi 5 % atau 10% tergantung produktivitas dan keuntungan perusahaan. Dalam sistem yang baru ini, upah minimum itu menjadi batas bawah yang lebih berfungsi sebagai rujukan minimal besaran upah di berbagai daerah.
Sistem pengupahan yang baru ini menuntut adanya transparansi antara pengusaha dan pekerja dalam menegosiasikan besaran upah untuk satu perusahaan. Karena itu adalah syarat mutlak. Tanpa keterbukaan, akan terbuka lebar ruang bagi kemungkinan timbulnya konflik. Sebagian kalangan mengungkapkan dilemma klasik dalam soal upah ini dalam kaitannya dengan penyerapan tenaga kerja. Di satu sisi buruh menuntut upah yang lebih besar, di sisi lain ada pengangguran yang tinggi. Upah yang tinggi mengurangi daya serap masing-masing perusahaan, kemudian sebagian orang berpendapat membiarkan upah sesuai mekanisme pasar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar